Rabu, 23 November 2011

PEMBANGUNAN DALAM PERSPEKTIF PERTAHANAN NEGARA:
PERANAN PEMERINTAH DAERAH
Oleh:
Prof. DR. I Komang Gede Bendesa
ikgbendesa@unud.ac.id
I. Pendahuluan. Konsep ketahanan nasional yang merupakan upaya mengoptimalkan seluruh aspek kehidupan melalui Astagatra yang meliputi Tri Gatra (geografi, alam, penduduk) dan Panca Gatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hankam) nampaknya masih merupakan produk terbatas di lingkungan TNI saja. Pembinaan territorial (Binter) dalam pemberdayaan wilayah pertahanan melalui Astagatra belum tersosialisasikan dengan baik dimasyarakat dan pemerintah khususnya pemerintah daerah. Pemahaman masyarakat dan pemerintah daerah berkenan pemberdayaan wilayah pertahanan melalui bina teritorial nampaknya sangat terbatas. Di perguruan tinggi, meski ini diberikan pada mahasiswa pada MKU (mata kuliah umum) namun saat mahasiswa kembali ke masyarakat mereka tidak akan memahami bagaimana aktualisasinya di masyarakat melalui kebijakan pemerintah daerah.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Pemberdayaan Wilayah Pertahanan Melalui Binter Bersama Seluruh Komponen Bangsa Dalam Rangka Mengamankan Kepentingan Nasional di Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, 26 Februari 2009.
2
Pada hakekatnya tujuan pembangunan ekonomi nasional adalah membuat masyarakatnya memperoleh kebebasan (freedom) baik kebebasan negatif maupun kebebasan positif. Bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan adalah beberapa contoh dari kebebasan negatif. Sedangkan bebas menyampaikan pendapat, memilih, dan sebagainya merupakan representasi dari kebebasan positif. Kedua jenis kebebasan tersebut dilakukan dalam nilai-nilai dan norma yang berlaku dimasyarakat.
Di bidang ekonomi, masyarakat miskin kebebasannya sangat terbatas dibandingkan mereka yang kaya, karena masyarakat yang sangat miskin sama sekali tidak mempunyai pilihan kecuali menerima apa yang ada atas belas kasihan orang lain. Peribahasa mengatakan “beggars never choose”. Kebebasan merupakan inti daripada proses pembangunan, karena dua alasan: pertama, alasan evaluatif yaitu penilaian terhadap kemajuan seharusnya didasarkan terutama pada apakah kebebasan sesorang meningkat; dan kedua, alasan keefektifan yaitu, pencapaian pembangunan adalah sepenuhnya tergantung pada penduduk yang berinteraksi. Menurut Sen (1999) dalam perspektif instrumental kebebasan meliputi: 1. Kebebasan berpolitik, 2. Fasilitas ekonomi, 3. Peluang sosial, 4. Jaminan transparansi, and 5. Perlindungan keamanan.
Salah satu komponen dalam pemberdayaan wilayah adalah pemberdayaan masyarakat miskinagar mereka mempunyai pilihan atau setidaknya kebebasan serta hak negatifnya terpenuhi. Pemberdayaan masyarakat yang meliputi delapan komponen dari Astagatra memerlukan pendekatan multidisiplin, karena tidak akan terselesaikan oleh satu disiplin saja. Pada tulisan ini, pemberdayaan tersebut dilihat dari kontek modal sosial yang dibangun di masyarakat, karena modal sosial selain merupakan barang publik juga merupakan modal yang sangat potensial dalam merekatkan bangsa bagi terwujudnya ketahanan nasional.
2. Arah Pembangunan. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan jangka panjang. Proses tersebut ditandai oleh perubahan dua peran aktor pembangunan yang sangat berarti.
3
Yang pertama, peranan relatif sektor pertanian menurun yang diimbangi oleh peningkatan peranan sektor jasa. Kedua, kekuasaan (power), yang mengendalikan perubahan tersebut, telah bergeser dari otot (violence) ke pengetahuan (knowledge). Toffler dalam Powershift (1991) menyampaikan tiga jenis kekuasan (power) yang telah mengalami pergeseran, yaitu kekuasaan dari kekerasan (violence) ke kekayaan (wealth), dan dari kekayaan ke pengetahuan (knowledge). Kekerasan dan kekayaan tergantung pada pengetahuan yang dapat mengarahkan pembangunan ke peradaban manusia yang lebih tinggi. Pertahananpun hendaknya berbasis pada pengetahuan, karena pengetahuan merupakan kekuasaan yang paling demokratis.
Pengetahuan dapat diperoleh apabila pendidikan secara terus menerus ditingkatkan dan dikembangkan baik melalui pengembangan ilmu maupun penelitian. Tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih rendah, rata-rata tamat sekolah dasar, yang merupakan cerminan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang rendah pula. Keputusan pemerintah untuk menganggarkan pendidikan 20 persen dari APBN merupakan keputusan tepat dalam mengantisipasi perkembangan di masa depan. Marber (2009) mengungkapkan bahwa Indonesia akan menjadi anggota Top Seven Economy (E7) selain China, India, Brasilia, Meksiko, Korea Selatan, dan Rusia. Pada tahun 2050, E7 penduduknya diperkirakan berjumlah 5.208.971.595 orang, meningkat dari yang sekarang berjumlah 3.182.371.288 orang. Pada tahun 2050, penduduk Indonesia ditaksir 497.016.784 orang. Ini berarti Indonesia berpotensi menjadi negara besar di masa depan.
Meskipun demikian, arah menuju jalan tersebut tidak selalu mulus, mengingat masalah sosial-budaya, politik dan hankam yang belum sepenuhnya stabil sebagai suatu lepas pijak yang kokoh bagi persyaratan pembangunan. Dampak perkembangan berkehidupan di Indonesia sejak dilancarkannya gerakan reformasi tahun 1998, seolah-olah membenarkan pendapat Naisbit (1994). Sebagai paradok global dia menyampaikan antara lain: “The bigger the world economy, the more powerful its smallest players” dan “The more universal we become, the more tribal we act”. Dan mantra era baru bergeser dari “Think Globally, Act Locally” menjadi “Think Locally, Act Globally”.
4
Meski pendapat ini disampaikan hampir 15 tahun lalu, nampaknya masih relevan dengan keadaan Indonesia dan kita perlu menyimaknya dengan cermat. Demokrasi yang sedang kita lancarkan makin menguatkan tindakan-tindakan ke-lokalan masyarakat, mulai dari tuntutan pemekaran provinsi, perlakuan daerah khusus, penguatan klan-klan keluarga, bahkan penegakan raja-raja nusantara. Perkembangan tribal barupun sangat potensial karena didukung oleh teknologi informasi yang berkembang sangat spektakuler. Revolusi senyap ICT (information and communication technology) ini melahirkan tribal-tribal baru lewat facebooks, blog, dan sebagainya. Sepanjang tribal-tribal baru ini membangun jejaring yang kondusif bagi pembangunan maka dia merupakan modal sosial yang perlu ditunjang. Namun, sebaliknya apabila dia justru merusak tatanan nilai-nilai positif di masyarakat maka dia bukan lagi merupakan modal sosial tetapi justru dapat bertindak sebagai self-destructor.
Disini peran pemerintah sangat penting dalam mengarahkan jejaring baru tersebut menjadi modal sosial yang dapat meningkatkan ketahanan bangsa, bukannya hanya dengan melancarkan larangan-larangan semata, tetapi benar-benar memahami dan menguasai teknologinya serta mengantisipasi perkembangan yang muncul. Paradigma Macro Quantum yang disampaikan oleh Marber (2009) mengungkapkankan hubungan antar negara (masyarakat) berinteraksi dengan pemain yang lebih banyak, hubungan yang lebih besar serta kurang dapat diprediksi dan tidak pasti. Masalah-masalah yang muncul tidak dapat lagi dilihat sebagian-sebagian, tetapi membutuhkan penanganan menyeluruh. Interaksi yang demikian komplek dapat membuat pilihan yang benar tergantung pada kontek situasional dibandingkan satu pendekatan yang benar. Ukurannya bukan benar dan salah, tetapi lebih baik atau lebih buruk.
3. Isu Dasar Pembangunan. Beberapa isu penting yang perlu diperhtikan pemerintah dalam memberdayakan masyarakat yang diharapkan secara otomatis dapat meningkatkan pemberdayaan pertahanan, antara lain: basis pembangunan, daerah pedesaan, dan modal social. Basis pembangunan: the right to development.
5
Pembangunan yang berhasil adalah pembangunan yang dapat memberikan rasa aman bagi penduduknya, kebebasan serta kesetaraan. Hak atas pembangunan yang memberikan jaminan bagi penduduknya disampaikan oleh PBB melalui deklarasi Right to Development pada tahun 1986. Tiga ayat dari 17 ayat dari 10 pasal deklarasi disampaikan sebagai berikut.
1. The right to development is an inalienable human right by virtue of which every human person and all peoples are entitled to participate in, contribute to, and enjoy economic, social, cultural and political development, in which all human rights and fundamental freedoms can be fully realized.
2. The human person is the central subject of development and should be an active participant and beneficiary of the right to development.
3. States have the primary responsibility for the creation of national and international conditions favourable to the realization of the right to development.
Pasal tersebut menyampaikan bahwa anggota masyarakat berhak atas seluruh aspek pembangunan dan hasil-hasilnya, serta menjadi subyek pembangunan. Negara bertanggung jawab atas kondisi nasional maupu internasional agar hak atas pembangunan dapat terrealisasi.
Dengan demikian, hak-hak masyarakat baik hak negatif maupun hak positif perlu diperhatikan dengan baik. Misalnya, hak atas kekayaan intelektual, seperti paten, hak cipta perlu mendapat perhatian lebih serius lagi, karena dari sisi ekonomi hak ini merupakan insentif seseorang untuk menghasilkan sesuatu atau menciptakan sesuatu yang baru. Tanpa hak-hak ini sulit akan dihasilkan temuan-temuan baru (innovation) sebagai prasayarat bagi pembangunan.
4. Daerah Belakang Bedesaan dan Pertanian. Sejak dimulainya Pelita pada tahun 1971, perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan struktur yang sangat mendasar. Peranan pertanian pada pendapatan dan kesempatan kerja menurun secara signifikan meskipun secara absolut meningkat.
6
Bebera ciri lain, misalnya: sebagian besar penduduk masih berada di daerah pedesaan sebagai petani dengan pendidikan yang rendah, produktivitas tenaga kerja rendah, lebih rendah dari sektor manufaktur dan jasa.
Kemiskinan berakar di pedesaan. Penanganan kemiskinan belum sepenuhnya mencapai sasaran karena banyak program yang memerlakukan masyarakat miskin di desa sebagai “client”, yaitu menunjukkan kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh mereka, kemudian memberikan bantuan untuk itu. Yang tepat adalah bukan mencari kekurangan, tetapi menunjukkan kemampuan mereka. Konsep dan dampak ke dua cara ini sangat berbeda. Kemiskinan merupakan orang tua kerusakan lingkungan dan sosial, yang dapat melahirkan bangsa yang terkebelakang yang berujung pada ketahanan nasional yang lemah.
Kemiskinan tidak akan pernah terhapus karena kemiskinan tidak saja berkaitan kebutuhan fisik tetapi juga “rasa”. Seseorang yang pendapatannya meningkat bisa juga merasa miskin apabila pendapatan tetangganya meningkat lebih tinggi dari pendapatannya. Pengukuran kemiskinan hanya dari sisi pendapatan dapat membuat kebijakan pemerintah tidak efektif apabila potensi masyarakat tidak sepenuhnya dapat direalisasikan. Kemiskinan hendaknya dilihat dari terampasnya kapabilitas dasar seseorang, bukan semata-mata karena rendahnya pendapatan, seperti disampaikan oleh Amartya Sen (1999) menyatakan “Poverty must be seen as the deprivation of basic capabilities rather than merely as lowness of incomes, which is the standard criterion of identification of poverty”. Seorang cacat fisik kapabilitasnya sangat terbatas sehingga yangbersangkutan tidak mampu mengaktualisasikan dirinya meskipun secara financial dibantu.
Kapabilitas seseorang dipengaruhi oleh umur, jender, peranan sosial, budaya, dan lainnya. Karenanya, dalam jangka panjang, penanganan kemiskinan oleh pemerintah tidaklah cukup hanya memberikan bantuan langsung tunai atau sejenisnya, tetapi lebih dari itu, meningkatkan kapabilitas mereka. Untuk pembangunan pedesaan ada baiknya kita belajar dari China. Pada tahun 1980an di China terjadi perubahan besar pada pembangunan pedesaan, yaitu peningkatan besar-besaran private rural entrepreneurship yang sepenuhnya lokal.
7
Meskipun asalnya dari daerah pedesaan namun perkembangan usaha mereka bukan saja di desa tetapi dengan cepat merambah kota. Bertumbuhnya justru berasal dari pedesaan. Pendapatan dari usaha entrepreneurial meningkat sumbangannya terhadap pendapatan pedesaan dari 8,1 persen pada tahun 1983 menjadi 14,8 persen tahun 1988. Peningkatan rural entrpreneurship telah mendorong industrialisasi di pedesaan.
Petani China memiliki dua karakteristik petani yang menonjol, yaitu: mereka sangat berjiwa wirausaha (entrepreneurial), spontan, dan sebagai pemilik dan operator siap menyediakan modal dan kapabilitas usaha; kedua, mereka sangat termotivasi untuk maju, terdorong kuat menjadi petani kaya. Pembangunan entrepreneurial yang demikian cepat dapat dilihat dari penerimaan pajak pemerintah atas usaha sendiri (self-employment business) yang hampir sepenuhnya berada pedesaan, yaitu dari 884 juta yuan pada 1981 menjadi 3,5 milyar yuan pada tahun 1982, atau meningkat hampir 4 kali lipat hanya dalam waktu setahun. Pendapatan per kapita penduduk pedesaan meningkat rata-rata 11,4 per sen per tahun dari tahun 1978 sampai 1981.
Cikal bakal dan asal muasal Kapitalisme China pada intinya berasal dari pedesaan; salah satu penyebabnya karena perencanaan sentral atau terpusat selalu lemah di daerah pedesaan. Banyak perusahaan besar manufaktur berasal dari provinsi terkebelakang dan daerah pertanian. Misalnya, usaha kulkas terbesar, Kelon Group, didirikan oleh pengusaha Wang Guoduan berasal dari pedesaan Shunde provinsi Guangdong.
Demikian pula mobil yang di ekspor bukannya berasal dari kota besar tetapi dari daerah pedesaan. Kesuksesan ekonomi di pedesaan dibandingkan perkotaan disebabkan karena kebijakan ekonomi di daerah pedesaan jauh lebih liberal dibandingkan dengan di perkotaan.
Menurut Deng Xiaoping setelah peristiwa Tiananmen Square pada 10 Mei 1989, ternyata tidak ada gejolak dari para petani yang disebabkan karena para petani merasa puas dari sisi kebutuhan ekonominya. Justru menurunnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990an dibandingkan tahun 1980an disebabkan karena kebijakan pemerintah yang merusak stabilitas pedesaan.
8
Di Indonesia justru para petani turun ke jalanan menuntut hak-hak mereka atas tanah seperti peristiwa yang terjadi di Yogya Entrepreneurship di China merupakan usaha kerja sendiri (self-employment business) dengan kepemilikan tunggal yang dikenal dengan nama individual business (geti hu) atau entitas ekonomi individual (geti jingji). Usaha berlandaskan entrepreneurship ini pada tahun 1979 meliputi 59 persen dari keseluruhan usaha di China, tahun 1980 menjadi 63,6 persen, tahun 1984 meningkat menjadi 65,5 persen. Dari semua usaha swasta yang berbasis di perkotaan, 30 persen dikendalikan oleh entrepreneur desa. Alasan kenapa kapitalisme di China berakar di pedesaan adalah karena: 1. dinamika sisi permintaan, yaitu meningkatnya permintaan barang dan jasa konsumsi sebagai permintaan turunan (derived demand); dan, 2. dari sisi penawaran karena petani mampu merespon perubahan pasar dengan cepat dan dalam skala besar. Disamping itu entrepreneur tumbuh dipedesaan karena dorongan pendidikan dan kesehatan, dimana pemerintah melakukan investasi sangat besar di pedesaan. Para petani entrepreneur hanya 8 persen buta huruf, 85 persen tamatan SMP dan 15 persen tamatan SMA. Dari semua usaha tersebut 72 persen merupakan usaha manufaktur, usaha lainnya adalah di bidang konstruksi dan transpor untuk proyek-proyek besar.
Juga banyak dari para entrepreneur desa yang beroperasi di daerah perkotaanm, yaitu sekitar 55 persen dengan basis permanen di daerah perkotaan.
Menurut Aziz (1978) sistem komunal di China dalam mentransformasi pertanian ke pembangunan pertanian mereka telah memenuhi persyaratan bagi pembangunan pedesaan, yaitu: diversifikasi ekonomi pedesaan, penyediaan jasa sosial dasar dan infrastruktur pedesaan, dan mengintegrasikan kegiatan komunal dengan target nasional.
Belajar dari pengalaman China ini, maka pemerintah (daerah) alangkah baiknya mengembangkan entrepreneur bukan saja di daerah perkotaan tetapi juga kewilayah pedesaan dengan menyediakan fasilitas dasar sebagai persyaratan utama, yaitu infrastruktur baik hard-infrastructure seperti: jalan, irigasi, skolah, dan lainnya maupun soft-infrastructure seperti kebijakan keuangan, aturan subsidi, dan lainnya.
9
5. Modal Sosial Identitas. Sebelum peristiwa September 11, 2001 bangsa Amerika jarang menaikkan bendera sebagai penghormatan bagi Negara dan bangsanya, Suatu contoh yang diberikan Huntington (2004), di suatu blok pertokoan, setelah peristiwa 11 September, hanya sebuah toko minuman menaikkan satu bendera, dua minggu berikutnya 17 bendera dikerek di blok pertokoan tersebut. Kemudian, bendera dikerek dimana-mana, rumah, perkantoran, daerah bisnis, dsb. Awal Oktober, 80 persen warga Amerika menaikkan bendera, 63 persen diperumahan, 29 persen di baju-baju, dan 28 persen kendaraan.
Toko Wall Mart melaporkan menjual 116.000 bendera pada tanggal 11 September dan 250.000 bendera hari berikutnya., yang sebelumnya hanya 6.400 dan 10.000 pada hari yang sama setahun lalu. Peristiwa tersebut ternyata mampu menumbuhkan rasa kebersamaan, solidaritas diantara mereka dengan menunjukkan identitas mereka, bendera. Peristiwa Bom Bali pada tahun 2002 dan 2005 tidak menggugah kemunculan identitas masyarakat Bali. Tidak tampak suatu kebangkitan solidaritas melalui identitas yang dimiliki. Tetapi apakah identitas mereka sesungguhnya? Tidak ada bendera yang di kerek, tidak ada warga berkostum hitam turun ke jalan, atau lainnya. Peristiwa tersebut disikapi dengan tindakan religious. Masyarakat melakukan persembahyangan bersama, memohon kepada Tuhan agar peristiwa tersebut tidak terulang dan kedamaian tetap berlangsung di Bali. Artinya, setiap masyarakat mempunyai cara tersendiri untuk menunjukkan identitasnya. Identitas juga merupakan daya rekat yang tinggi serta merupakan modal sosial sepanjang dia positif bagi masyarakat.
Identitas adalah individu atau kelompok yang memiliki rasa diri. Identitas merupakan hasil kesadaran diri, memiliki ciri yang membedakan dari lainnya. Identitas muncul karena beberapa faktor, antara lain: askriptif, seperti umur, gender, kekerabatan, etnik, 2. Budaya, seperti klan, suku, etnis, bahasa, nasionalitas, agama, 3. Territorial, seperti daerah tetangga, desa, kota, provinsi, negara, bagian, daerah geografis, kontinen, 4. Politik, seperti faksi, klik, pemimpin, grup, gerakan, partai, ideologi, negara, 5. Ekonomi, seperti pekerjaan, profesi, kelompok kerja, industri, sektor ekonomi, serikat buruh, klas, dan, 6. Sosial, seperti teman, klub, tim, kolega, status, group hobi.
10
Pemerintah (daerah) mungkin tidak memiliki data tentang identitas ini, sesuatu yang sulit dikerjakan tetapi sesungguhnya laten. Pemerintah perlu mengetahui apa sesungguhnya identitas masyarakat yang dapat membangkitkan dan memperkuat daya tahan nasional pada saat diperlukan.
6. Solidaritas. Peranan nilai solidaritas dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan melalui penciptaan modal sosial yang kondusif bagi pembangunan. Modal sosial berkaitan erat dengan kultur, kebiasaan, serta norma yang berlaku di masyarakat. Alasan kenapa modal sosial dapat mempererat solidaritas masyarakat didasarkan pada argumentasi: bahwa anggota masyarakat sering lebih baik bila dan hanya bila melakukan kerjasama dengan anggota masyarakat lainnya, karena modal sosial dapat memecahkan masalah yang dihadapi bersama dengan lebih mudah.
Modal sosial merupakan pelumas roda organisasi yang dapat berupa kelompok atau grup, perkumpulan, atau lainnya yang memungkinkan masyarakat dapat berkembang lebih lancar. Solidaritas diartikan sebagai sifat sama rasa atau rasa setia kawan dalam kepentingan dan tujuan sesama anggota pada suatu organisasi. Solidaritas sosial diperoleh antara dua individu atau lebih apabila ada suatu tingkat saling percaya dan komitmen antara mereka yang tidak tergantung pada transaksi khusus apapun (Portes dan Sensenbrenner dalam Sandefur dan Laumann, 2000).
Solidaritas sosial antara anggota dapat terjadi melalui perintah resmi, apabila nilai-nilai budaya yang didukung oleh norma-norma yang efektif menghendaki agar anggota keluarga mengawasi serta memperhatikan anggota lainnya. Atau, solidaritas dapat muncul karena kondisi interaksi yang berulang-ulang terjadi antara anggota dalam suatu waktu yang membentuk modal sosial, seperti kepercayaan dan kewajiban bersama. Dengan kata lain, solidaritas sosial terjadi dalam suatu situasi timbal-balik, yaitu apabila tindakan saling bantu diperlukan maka itu tidak dilakukan dalam reaksi karena suatu keuntungan akan diterima, tetapi karena penghormatan terhadap hubungan sosial itu sendiri.
11
Nilai atau norma informal yang dimiliki oleh anggota grup yang memungkinkan kerjasama diantara mereka Fukuyama (1999). Modal sosial berisi sumber-sumber (seperti kekayaan, kekuasaan, dan reputasi, maupun jejaring sosial) dari individu lainnya dengan mana individu mendapatkan akses ke sumber tersebut melalui ikatan sosial. Sumber sosial dapat berupa benda material dan juga simbol-simbol barang seperti pendidikan, keanggotaan klub, gelar pendidikan, nama keluarga atau clan, reputasi, atau kemasyhuran. Beberapa kata kunci yang menjadikan modal sosial dapat berkembang antara lain: kepercayaan (trust), komitmen (commitment), asas timbal-balik (reciprocity), toleransi (tolerance), dan jejaring (net work) Nilai-nilai kebersamaan dan norma-norma yang di anut masyarakat tidak dengan sendirinya dapat menciptakan modal sosial.
Apabila dari nilai-nilai yang ada di masyarakat bukannya menciptakan solidaritas tetapi sebaliknya kekacauan dan bahkan kemunduran serta kehancuran maka hal tersebut bukan merupakan modal sosial tetapi self-destruction atau predatory society.
Masyarakat predator (predatory society) adalah kebalikan daripada masyarakat madani (civil society), yaitu: pertama, tidak ada komunitas riil, tidak ada komitmen bersama terhadap visi terhadap barang publik, dan hukum tidak dihormati.
Perilaku masyarakat sinis dan oportunistik. Mereka yang memiliki kekuasaan politik memonopli dan mengambil keuntungan darinya. Jadi, apabila ada pemilihan yang kompetitif, ini akan berujung pada perjuangan zero-sum yang sengit dimana setiap orang enggan dinyatakan kalah. Orang-orang akan bekerja sama untuk memperoleh kekuasaan dan hak-hak istimewa. Dalam masyarakat predatori, mereka yang kuat akan memangsa yang lemah dan yang kaya mengambil keuntungan dari yang miskin atas layanan barang publik serta korupsi dilihat sebagai suatu norma (Diamond, 2008).
Pemberantasan korupsi yang baru-baru saja dimulai dengan serius dapat menghindari masyarakat predator. Kekuatan ikatan keluarga berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, juga berbeda menurut tingkat intensitas relatif kewajiban sosial. Dalam beberapa hal terjadi hubungan terbalik antara ikatan kepercayaan (trust) dan timbal-balik (reciprocity), dalam keluarga dan luar keluarga.
12
Apabila tingkat kepercayaan kuat dalam keluarga maka hal tersebut bisa lemah di luar keluarga. Menurut Fukuyama (2000), di China dan Amerika Latin, ikatan keluarga sangat kuat dan kohesif, tetapi mereka sangat sulit bisa mempercayai orang asing, dan tingkat kejujuran dan kerjasama pada kehidupan publik rendah. Akibatnya, nepotisme dan korupsi berkembang dalam urusan publik. Kebajikan sosial lainnya yang memperkuat modal sosial antara lain: kejujuran, keterandalan, kesediaan bekerja sama, rasa wajib terhadap orang lain.
Sedangkan kebajikan ekonomi yang mempunyai dampak positif bagi perekonomian seperti sikap hemat, kerja keras, rasional, inovatif, ketersediaan menghadapi resiko. Modal sosial tercipta dari berbagai sumber, antara lain: agama (nilai-nilai agama yang terkandung), kebudayaan (nilai-nilai budaya dan norma), dan pengalaman sejarah. Modal sosial merupakan barang publik. Dia tidak dimiliki oleh individu tertentu saja tetapi tergantung pada semua anggota dalam jaringan di masyarakat, demikian pula modal sosial tidak terletak pada pelaku atau anggota itu sendiri tetapi pada hubungannya dengan pelaku atau anggota lainnya.
Menurut Laporan Bank Dunia (2000), tingkat modal sosial mempunyai dampak yang signifikan pada proses pembangunan, antara lain: 1.Pada bidang pendidikan: para guru lebih komited, mahasiswa mencapai nilai yang lebih tinggi, dan fasilitas sekolah dimanfaatkan lebih baik pada komunitas dimana orang tua dan masyarakat berperan aktif pada pendidikan; 2.Pada bidang kesehatan: dokter dan perawat berperan lebih aktif dan memberikan perhatian lebih banyak pada tugasnya dimana tindakannya dibantu dan dimonitor oleh kelompok masyarakat; dan, 3. Pada pembangunan pedesaan: desa-desa dengan modal sosial yang lebih tinggi dapat memanfaatkan kredit dan obat-obatan kimia lebih baik dan membangun jalan-jalan pada tingkat kerjasama desa.
7. Kasus: Solidaritas Sosial Masyarakat Bali. Dengan menggunakan pendekatan modal sosial, solidaritas sosial masyarakat Bali dalam berbagai aspek kehidupan dapat diidentifikasi. Meskipun demikian, identifikasi ini hanya menunjukkan gejala atau tren yang terjadi di masyarakat, yang dalam beberapa hal tren tersebut memberikan dampak negatif bagi pembangunan pada umumnya.
13
Beberapa gejala atau tren yang dapat diidentifikasi antara lain: Politik Semenjak reformasi digulirkan perubahan dalam dunia politik terjadi demikian cepat. Partai politik berkembang dalam jumlah relatif besar. Namun, yang terjadi bersamaan dengan perkembangan tersebut adalah adanya anggota partai yang berpindah-pindah dengan alasan masing-masing. Ini menunjukkan komitmen dalam organisasi kurang bahkan menunjukkan degradasi. Banyaknya anggota dewan (DPRD) yang tidak menghadiri rapat juga menunjukkan kurangnya komitmen tersebut. Ekonomi Modal sosial di bidang ekonomi dapat dikatakan rendah bila dilihat dari kepercayaan dan jejaring yang dapat dibangun. Pada tingkat paling bawah, kepercayaan antar grup atau warga dapat dikatakan sangat baik. Misalnya, warung-warung yang ada di desa, pembayaran tidak terjadi pada saat transaksi, bahkan pembeli mengambil barang tanpa harus ditunggui oleh pemilik warung.
Pada warung (disebut café agar mentereng) di daerah perkotaan terutama daerah pariwisata hal seperti ini tidak terjadi lagi. Untuk tingkat yang lebih atas dalam hal radius transaksi yang melibatkan orang-orang di luar daerahnya, kepercayaan dan terutama jejaring hampir dapat dikatakan tidak ada. Mereka menjadi lebih individualis tanpa ada kemauan (atau tidak adanya kemampuan?) untuk membangun jejaring diantara sesamanya. Hal ini berbeda dengan bangsa Yahudi dan China yang terkenal maju karena jejaringnya di bidang ekonomi.
Untuk Indonesia, etnis Padang dapat dipakai sebagai contoh keberhasilan dalam membangun jejaring di bidang ekonomi. Sosial-budaya Di bidang sosial-budaya, masyarakat Bali bersifat dualistik. Di satu pihak menerima globalisasi, tetapi di pihak lain mengintensifkan “glokalisasi”. Persoalan klan dan kasta yang muncul hampir tidak memberikan nilai tambah positif bagi pembangunan. Ini menyangkut nilai atau sikap toleransi dari modal sosial. Kurangnya sikap toleran juga dapat diamati pada persoalan beberapa warga yang dilarang di kubur. Apapun alasannya, dari sisi pandang penciptaan modal sosial, seperti dijelaskan di atas, norma atau nilai-nilai yang ada tidak lagi dapat disebut sebagai modal sosial. Yang perlu dicermati ke depan adalah peran daripada pecalang sebagai suatu organisasi atau grup yang ada di desa.
14
Organisasi ini hendaknya di kembangkan kearah yang memberikan dampak positif bagi warganya yang dapat membangun jejaring yang lebih luas untuk Bali dan mampu menciptakan rasa aman. Grup atau kelompok dengan jejaring tingkat nasional yang memanfaatkan banjar adalah Kelompencapir dan Program KB sistem banjar.
Kelompok ini mempunyai dimensi inklusif (bridging) dengan penyebaran informasi yang luas sehingga mempunyai dampak positif. Peranan banjar dalam hal ini sangat bagus dan positif. Demikian pula subak, sekeha-sekeha memberikan nilai positif bagi solidaritas warga masyarakat. Hanya sayang, kelompok-kelompok ini nampaknya meredup tanpa adanya pemeliharaan terhadap modal sosial ini. Birokrasi Modal sosial di bidang birokrasi dalam beberapa hal rendah karena kurangnya kepercayaan dan komitmen yang ada. Misalnya, investasi. Dalam hal kepercayaan, dapat dilihat peristiwa sehari-hari, misalnya untuk setiap urusan kadangkala dibutuhkan identitas yang berlapis-lapis, seperti akte kelahiran, KTP, surat KK, kelakuan baik, dan sebagainya.
Untuk surat-menyurat ada yang menghendaki semuanya harus tandatangan basah dan legalisasi. Hampir tidak ada kepercayaan (trust). Rendahnya modal sosial ini menimbulkan kelambanan dalam birokrasi sehingga menjadi tidak efisien. Pemerintah daerah dapat membangun modal sosial melalui beberapa cara, antara lain: 1. Menciptakan pengalaman yang dapat membangun kepercayaan antara individu di bidang sosial-budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan birokrasi. 2. Menyediakan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk membangun pengertian dan visi yang sama, karena sering terjadi masyarakat belum sepenuhnya memahami visi pemerintah atau organisasi lainnya. 3. Menggunakan teknologi tepat guna untuk membantu pembentukan jejaring dan pemeliharaan. Misalnya, banjar-banjar yang ada di Bali dibantu membangun jejaring melalui penyediaan komputer dan perpustakaan. Selama ini banjar dalam hal fasilitas dapat dikatakan tidak berkembang sama sekali kecuali perbaikan gedung. Tetapi fasilitas yang diperlukan yang dapat meningkatkan modal sosial yang lebih luas jangkauannya kurang memperoleh perhatian.
15
Anggota banjar umumnya memperoleh fasilitas tersebut di luar banjar sehingga ada kecenderungan mereka lebih erat dalam club untuk jangkauan yang lebih luas. Perpustakaan sama sekali di abaikan di banjar padahal penyebaran informasi dimulai dari banjar sangat efektif seperti yang dilakukan oleh program KB atau Kelompencapir. Setidaknya basis untuk menciptakan dan memperluas modal sosial sudah tersedia yang nilainya sangat tinggi.
8. Penutup. Pembangunan dalam perspektif pertahanan negara, membutuhkan pendekatan menyeluruh namun dimulai dari hal-hal yang sangat mendasar. Hal mendasar tersebut antara lain pembangunan dan hasil-hasilnya yang memberikan rasa aman dan kebebasan bagi warganya, dengan memberikan prioritas bagi mereka yang terkebelakang di daerah pedesaan agar muncul suatu rasa kebersamaan yaitu rasa solidaritas diantara warga sehingga tercipta masyarakat madani (civil society) yang berlawanan dengan masyarakat predator (predatory society). Masyarakat seperti ini akan mampu membuat bangsa bertahan dari pengaruh luar yang destruktif.
16
Referensi .
1. Aziz, S. 1978. Rural Development: Learning From China. The MacMillan Press Ltd. London.
2. Bendesa, I K.G. 2005. Peranan Nilai Solidaritas Sosial Dalam Budaya Bali Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat: Suatu pendekatan Modal Sosial. Makalah dibawakan dalam Seminar dalam Rangka Peringatan Ultah ke 52 Universitas Dwijendra Denpasar, 27 Januari 2005.
3. Chauffour, Jean-Pierre. 2009. The Power of Freedom, Uniting Human Rights and Development. CATO Institute, Washington. D.C.
4. Diamond, L. 2008. The Spirit of Democracy. Times Books, Henry Holt and Company, LLC, New York.
5. Fukuyama, F. 1999. The Great Disruption. The Free Press. New York.
6. Fukuyama, F. 2000. Social Capital. dalam Harrison L. E. and Samuel P. Huntington. 2000. Culture Matters: How Values Shape Human Progress.
7. Harrison, L. E. and Samuel P. Huntington. eds. 2000. Culture Matters: How Values Shape Human Progress. Basic Books. New York.
8. Huang Yasheng. 2008. Capitalism with Chinese Characteristics: Entrepreneurship and the State.Cambridge University Press. Cambridge.
9. Huntington, S. P. 2004. Who Are We? Penguin Books India Pvt Ltd, New Delhi.
10. Lesser, E. L. ed. 2000. Knowledge and Social Capital: Foundations and Applications. Butterworth-Heinemann. Boston.
11. Marber, P. 2009. Seeing the Elephant: Understanding Globalization from Trunk to Tail. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
12. Martin, M. K. 2004. Social Capital: civic community, organization and education. http://www.infed.org
13. Naisbit, J. 1994. Global Paradox. Avon Books, New York.
14. Nan Lin. 2002. Social Capital: A Theory of Social Structure and Action. Cambridge University Press. Cambridge.
15. Putnam, R. D. 1993. The Prosperous Community. The American Prospect. in http://www.prospect.org
17
16. Sandefur, R. L. and Edward O. Laumann. A Paradigm of Social Capital. in Leser E. L. 2000: 69-87. Knowledge and Social Capital: Foundations and Applications. Butterworth-Heinemann. Boston.
17. Sen, A. 1999. Development As Freedom. Alfred A. Knopf, Inc., New York.
18. Toffler, A. 1991. Power Shift.Bantam Books, New York.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar